Padahal kadang saya merasa salut sama teman-teman saya yang dengan pandainya menawar. Ah, kadang saya malu, sudah setua ini kok masih belum pandai menawar ketika jual beli.
Kadang orang lain menganggap saya sok kebanyakan uang (padahal saya tidak punya uang banyak), karena saya membayar di harga yang menurut mereka masih bisa turun lagi.
Bukan karena saya kelebihan uang, tapi memang kadang saya kasihan dengan pedagang-pedagang kecil yang sering lewat di komplek saya, aki-aki penjual sayuran, aki-aki tukang bersihin rumput, tukang ayam keliling, tukang sol sepatu keliling, tukang penjahit keliling,
juga dengan pedagang dan penjual jasa di kampus, seperti tukang ojek, tukang buku bekas, tukang jambu di depan kampus, tukang donat keliling, anak kecil penjual cilok keliling, tukang jilbab di kampus, dan lainnya.
Begitu pula saya tidak tega menawar sayuran, tempe, cabe, ayam, ikan dan bahan makanan lainnya di pasar, padahal tetangga saya bilang, kalau ditawar pasti turun kok.
Pokoknya kemampuan saya di bidang itu sangat rendah.
Sampai suatu hari, ketika saya sedang mencari-cari rumah dijual di perumahan dekat kantor saya. Sepulang kuliah di sore hari, saya keliling komplek tersebut dengan menggunakan sepeda motor. Saya mengendarainya pelan sekali, sambil tengok kiri kanan untuk melihat barangkali ada tempelan kertas atau bentuk pengumuman lainnya yang menyebutkan bahwa rumah itu dijual.
Tibalah saya pada rumah yang berada di posisi pojok. Rumahnya masih terlihat bagus dan kokoh. hanya saja kelihatan sedikit berdebu kurang terawat. Di kaca rumah tersebut tertempel pengumuman bahwa rumah tersebut akan dijual, tercantum pula nomopr telepon yang bisa dihubungi.
Saya segera menyalinnya ke handphone saya, dan kemudian saya menelponnya. ternyata nomor yang tercantum di pengumuman tersebut adalah nomor handphone anak pemilik rumah, dan ketika saya menanyakan harganya, ia menganjurkan saya untuk menelpon ayahnya langsung.
Saya memutuskan untuk menelpon di rumah saja. setelah istirahat sebentar, saya langsung menelpon sang pemilik rumah. Karena tidak pandai berbasa basi, maka saya langsung mengutarakan maksud saya untuk menanyakan harga rumah yang akan dijual. Sang penjual menawarkan angka 105 juta untuk rumah seluas 86 m2 tersebut, padahal harga pasaran rumah di sekitar situ adalah 200-220 juta untuk tipe 36/72. Saya memberanikan diri menanyakan apakah harganya masih bisa kurang. sang pemilik menjawab bahwa masih bisa kurang kok, dan dia menawarkan saya untuk melihat rumah tersebut.
Pada hari yang dijanjikan, saya datang melihat-lihat kondisi rumah tersebut. Dan saya menyimpulkan bahwa rumah tersebut masih layak huni. Kemudian saya mencoba memberanikan diri menawar, dan pemilik menurunkan di harga 99 juta dengan biaya pajak dibebankan kepada saya. Dan pertemuan itu diakhiri dengan perkataan saya, akan mempertimbangkan tawaran pemilik rumah tersebut.
Setelah itu saya berusaha mencari uang sebanyak yang ditawarkan. tapi jumlahnya tidak mencapai angka tersebut. Selain itu, saya juga berkonsultasi dengan teman-teman kantor yanglebih senior, dan mereka berendapat bahwa rumah tersebut sudah sangat murah. karena tahun lalu pernah ada teman kantor yang menawar rumah tersebut di harga 100 juta tapi tidak disepakati oleh pemiliknya.
Seminggu kemudian, pemilik rumah menelpon saya menanyakan apakah saya jadi membeli rumahnya. Karena uang yang saya peroleh kurang dari 99 juta, maka saya menawarnya di angka yang saya sanggupi, yaitu 93 juta. dan ajaib, tanpa panjang lebar, pemilik tersebut menyetujuinya.
Saya kemudian mulai memperhitungkan anggaran untuk pajak jual beli (pajak penjual dan pajak pembeli), tunggakan PBB selama 7 tahun, dan balik nama yang harus saya tanggung. Saya memerkirakan bahwa saya akan habis minimal 10 juta untuk urusan tersebut.
Beberapa teman menyarankan cara kurang baik dengan cara membuat kwitansi fiktif, kwitansi yang diberitahukan kepada notaris adalah kwitansi palsu seharga di bawah 60 juta supaya tidak kena pajak. Tapi hati saya agak berat untuk menuruti saran mereka. saya hanya diam saja dan berkata, lihat saja nanti. karena saya takut rumah saya tidak berkah nantinya dan sesungguhnya saya sendiri bingung dari mana lagi mencari uang untuk urusan itu.
Ada sahabat di kampus yang baik hati, yang sangat mensupport saya untuk membeli rumah tersebut. Ia menawarkan pinjaman Logam Mulia-nya sebanyak 15 gram, dan saya boleh menggantinya kapan saja. Saya sempat menolaknya, karena takut tidak bisa membayarnya. Tapi sahabat saya mengatakan, tenang saja, pasti akan ada rejekinya kok. gak usah khawatir.
Dan betul sekali, beberapa hari kemudian saya mendapat tawaran untuk ikut penelitian World Bank dari dosen saya, yang insya Allah honornya melebihi jumlah hutang saya kepada sahabat saya yang meminjamkan 15 gr Logam Mulia-nya. pada minggu yang sama pula, saya mendapat tawaran untuk menjadi minutes taker pada sebuah workshop yang didanai pemerintah Jerman.
Ya Rabb... betapa Maha Pemurahnya Engkau.
Setiap setelah selesai urusan kuliah, saya menyempatkan diri untuk mencari notaris dan menanyakan biaya yang harus saya keluarkan untuk urusan tersebut. Notaris pertama mematok hampir 9 juta. kemudian saya mencari notaris lain untuk perbandingan. Sampai akhirnya saya menemukan kantor notaris yang ijin operasinya sudah lama sekali, sejak 2002. saya berkonsultasi di sana, dan dia tidak banyak mematok harga. dia lebih reasonable, harga-harga ditentukan nanti berdasarkan survei NJOP ke BPN.
Akhirnya saya memutuskan menggunakan jasa notaris kedua. setelah pihak notaris mengecek ke pihak terkait, ternyata saya tidak kena biaya pajak, hanya bayar tunggakan PBB saja sebanyak kurang dari 500 ribu, dan kena biaya balik nama sebesar 2 juta.
Tak hentinya saya bersyukur, karena saya hanya mengeluarkan 2 juta dari perhitungan saya yang minimal sebesar 10 juta.
Kemudian, setelah transaksi selesai, saya mulai sedikit memperbaiki bagian-bagian yang kena rayap di rumah tersebut, memplester bagian yang belum dipelster, dan mengecatnya. Selama pengerjaan perbaikan itulah, saya mulai kenal dengan tetangga baru. Mereka menanyakan, berapa harga rumah yang saya beli tersebut. Belum sempat saya jawab, mereka bercerita bahwa tetangga depan pernah menawar rumah tersebut dengan harga 130 juta setahun yang lalu, tapi pemiliknya bersikeras di harga 145 juta. Kemudian juga tetangga belakang pernah menawarnya di harga 110 juta, tapi lagi-lagi, sang pemilik tidak mau memberikannya di harga tersebut.
Lagi-lagi saya terharu. betapa baiknya Allah terhadap saya.
Hanya dalam hitungan minggu, Allah telah memperlihatkan kekuasaan dan kemurahan-Nya berturut-turut kepada saya.
Pertama,
rumah dengan pasaran 200-220 juta, bisa saya peroleh dari pemiliknya dengan harga 93 juta, tanpa saya harus bersitegang menawarnya. dan padahal masih ada penawar yang lebih tinggi sebelumnya, di angka 100, 110, dan 130 juta. padahal untuk menawar sayur atau pakaian pun saya tidak berani.
Sungguh Allah yang akan memberikan harga yang pantas tanpa kita menawarnya jika Dia menghendaki.
Kedua,
niat saya untuk tetap memakai cara jujur dalam mengurus pajak dan biaya lain yang dibebankan kepada saya, mendapat jawaban dari Allah. tanpa harus melakukan rekayasa, saya mendapatkan angka yang pantas di harga 2 juta, dari sebelumnya diperkirakan tidak kurang dari 10 juta, dan pernah dinyatakan 9 juta oleh notaris sebelumnya. Allah tidak pernah tidur, ia mendukung setiap jalan kebaikan dengan caranya.
Ketiga,
Disaat saya kebingungan dari mana saya bisa memperoleh uang untuk urusan rumah tersebut, Allah mengirimkan bantuan-Nya melalui sahabat saya di kampus, dan kemudian memberikan saya kesempatan menjemput rejeki melalui penelitian World Bank dan workshop Jerman yag ditawarkan oleh dosen saya.
Allah memberikan rejeki-Nya ketika kita mau berusaha.
Terimakasih banyak atas kemurahan-Mu ya Allah...
I love YOU so M U C H....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar